SISTEM PEMBAGIAN HASIL PUNGGAWA SAWI

Komunitas nelayan Tempat Pelelangan Ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan. terbebas dari ketergantungan kepada punggawa, sebutan untuk tengkulak di Makassar, sepuluh tahun silam. Tumpukan utang nelayan kepada punggawa merupakan masalah klasik. Kita tahu bagaimana nelayan meminjam uang kepada punggawa meski bunganya tinggi karena proses mendapatkannya tak sulit. Dengan utang itu, nelayan bisa memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak.Konsekuensinya, mereka harus menjual hasil tangkapan kepada punggawa dengan harga yang diatur sepihak. Harga ikan sering merugikan nelayan karena di bawah harga pasar. Akhirnya, nelayan tak bisa melunasi utangnya. Malah, utang mereka kian besar karena bunganya tinggi.Boleh dibilang, para punggawa pula yang menguasai geliat perekonomian di TPI Paotere. Semua yang hendak berjualan ikan di TPI, termasuk istri para nelayan yang hendak membantu suaminya, harus bekerja kepada salah seorang punggawa.
Mengais rezeki di Paotere nyaris tak ada yang gratis.
• Nelayan harus menyetor dana Rp 250.000 kepada punggawa guna menebus izin dan lokasi berjualan serta pakaian seragam. seperti seringnya ikan hasil tangkapan nelayan dibuang karena tak terjual dan tak adanya es untuk mengawetkan.
• Saat hasil tangkapan ikan sepi, sampai keluhan nelayan akan harga bahan bakar yang kian mahal.
1. ORGANISASI KERJA/STRUKTUR PUNGGAWA-SAWI

Di Tempat Pelelangan Ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan., dimana terdapat komuniti-komuniti nelayan dikenal kelompok-kelompok punggawa-sawi, yang menurut keterangan dari informan dari setiap desa nelayan yang ada Sulawesi Selatan, hal tersebut telah ada dan bertahan sejak ratusan tahun.
Struktur inti/elementer kelompok organisasi ini ialah ponggawa laut/juragan dan sawi-sawi. Ponggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktifitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan manejerial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh ponggawa laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme.
Untuk mengembangkan mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap tingggal di darat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut ponggawa darat.
Untuk memimpin pelayaran dan aktifitas produksi di laut, ponggawa darat merekrut juragan-juragan baru menggantikan posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang/meningkat jumlahnya. Para juragan/ponggawa laut dalam proses dinamika ini sebagian lainnya masih berstatus pemilik, sedangkan sebagian lagi hanyalah berstatus pemimpin operasi kelompok nelayan. Para juragan yang merekrut sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan istilah ponggawa caddi, sedangkan ponggawa besar disebut ponggawa lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) menandai hubungan-hubungan dalam kelompok ponggawa-sawi baik dalam bentuknya elementer (ponggawa/juragan-sawi) maupun yang lebih kompleks (eksportir/bos-Ponggawa pulau-sawi) ialah hubungan patron-client: dari atas bersifat memberi servis ekonomi dan sosial, sedangkan dari bawah hubungan mengandung muatan moral dan modal sosial.






Dalam karakteristik fungsional pekerja, dikenal ponggawa dan sawi dengan pembagian peran sebagai berikut:
• Eksportir/Bos di Makassar, bertugas membeli hasil tangkapan dari Poggawa.
• Ponggawa pulau, bertugas membeli ikan dari nelayan pemancing.
• Pabalolang, bertugas mengantar/mendistribusikan ikan dari Ponggawa Karamba di pulau kepada eksportir/Bos di Makassar.
• Nelayan pemancing, bertugas menangkap/memancing ikan hidup di taka-taka atau gusung kemudian menjualnya ke Ponggawa Pulau.
2. MEKANISME MELAUT
• Punggawa sawi memberikan modal kepada para anak buah kapal yang akan melaut. Ponggawa laut/juragan tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap tingggal di darat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain
• Para nelayan yang telah menerima modal pergi melaut, paling lama setengah bulan tergantung ukuran kapal dan cuaca. Nelayan pemancing biasanya mulai beroperasi sekitar pukul 18.00 hingga dini hari. Dalam beroperasi nelayan pemancing menggunakan alat tangkap yaitu pancing rawe. Pancing rawe adalah pancing yang cara penggunaannya di bentangkan disekitar taka atau gusung, yang memiliki kurang lebih 100 mata kail. Mata kail yang digunakan adalah mata kail no 8. Selain pancing rawe, alat tangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan pemancing adalah pancing kedo-kedo.
3. PERHITUNGAN BIAYA PERAHU
 PERAHU UKURAN 15 TON :
* kapasitas 25 orang ABK
* 500 - 1000 liter solar per 10 – 14 hari
* solar subsidi Rp 4.500,00/liter
 PERAHU UKURAN 5 – 10 TON :
* kapasitas 5 – 10 orang ABK
* 50 – 100 liter solar per 1 – 7 hari
* solar subsidi Rp 4.500,00/liter
 BEA CUKAI Rp 10.000,00 – Rp 15.000,00/ perahu.
4. RINCIAN BIAYA MELAUT
MISALNYA UNTUK PERAHU UKURAN 5 – 10 TON (yang di tanggung oleh punggawa sawi):
 100 liter solar @Rp 4.500,00/liter.
 Jumlah ABK 9 orang = 3 karung beras + makanan / 7 hari.
 Balok es.
 Bea cukai Rp 10.000,00
 Biaya tak terduga (misalnya biaya ABK yang sakit,perawatan mesin)
5. SISTEM BAGI HASIL
a. PELAKU-PELAKU SISTEM PEMBAGIAN HASIL

b. MEKANISME SISTEM PEMBAGIAN HASIL
Dalam perikanan laut pada umumnya, baik yang modern maUpun tradisional, diterapkan sistem aturan bagi hasil, sebaliknya hanya sebagian kecil di antara perikanan modern berskala besar yang kapitalistik menerapkan sistem pengupahan. Untuk perikanan tradisional berskala kecil, secara umum aturan bagi hasil menetapkan bahwa setiap anggotanya memperoleh satu bagian pendapatan dari jumlah keseluruhan pendapatan per aktifitas yang dilakukan. Pembagian hasil dilakukan setiap kali setelah pemasaran ikan dilakukan diluar biaya operasional, seperti bahan bakar. Namun, pembagian hasil bukan dilihat dari peran dan status, tetapi karena bantuan jasa transportasi dan tenaga saat memasarkan ikan ke Makassar.
Misalnya pendapatan kotor hasil penjulan ikan 10 juta:
• Sisa hasil penjualan ikan yang habis, dipotong persenan 5% - 10% oleh punggawa sawi (tergantung kesepakatan antara punggawa sawi dan sawinya). 10 juta x 5% = 500 ribu
• Pemilik kapal mendapatkan 3 - 5 juta (bila pemilik kapal juga merupakan punggawa sawi).
• Sisa hasil penjualan sejumlah 4,5 juta (10 juta – 5,5 juta) dibagi kepada ABK sejumlah 9 orang, atau dengan kata lain 500 ribu/ ABK.






KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN :
Sistem pembagian hasil punggawa-sawi yang terlihat tidak seimbang mau tidak mau harus di terima oleh para sawi/nelayan. Musim penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak besar atau stok ikan di laut berkurang. situasi ini malah kian melekatkan mereka kepada Punggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Punggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Punggawalah yang membantu.
SARAN :
Pemerintah seharusnya lebih mengembangkan sistem koperasi bagi para nelayan sebagai salah satu pendukung modal dalam kegiatan melaut agar sistem punggawa-sawi tidak menjadi ketergantungan bagi para nelayan/sawi, terutama dalam hal subsidi solar.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam struktur ekonomi masyarakat nelayan dikenal adanya Punggawa dan Sawi. Punggawa merupakan pemilik modal dan Sawi adalah peminjam atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa undang-undangnya nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan Sawi yang diberi modal. Dan Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada Punggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Modal yang diberikan oleh Punggawa tidak terbatas pada modal materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, mesin kapal, jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.
Begitu kuatnya peran Punggawa dalam mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini ditandai dari hulu hingga hilir. Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di laut menangkap ikan, hingga pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus dilakukan atas kendali Punggawa, baik Punggawa darat maupun Punggawa laut .
Struktur Punggawa baik Punggawa darat dan Punggawa pulau yang merupakan pensuplai modal usaha dan bantuan finansial lainnya sangat berperan dalam menentukan aktifitas kenelayanan terutama bagi nelayan sawi. Hal ini dikarenakan pola hubungan Punggawa-sawi menempatkan sawi sebagai inferior terhadap Punggawa sehingga berimbas pula pada struktur kerja kenelayanan yang dilakoni termasuk model pemanfaatan terhadap sumber daya yang ada. Selain itu fungsi Punggawa yang terkadang menjadi distributor hasil tangkapan menjadikan peran mereka semakin kuat dalam mengintervensi aktifitas nelayan sawi dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada.
Musim penangkapan ikan tidak berlangsung sepanjang waktu. ada masa-masa dimana kegiatan penangkapan ikan praktis tidak dapat dilakukan seperti masa ombak besar atau stok ikan di laut berkurang. situasi ini malah kian melekatkan mereka kepada Punggawa karena manakala mereka tidak melaut maka otomatis pendapatanpun tersumbat. Tidak ada jalan lain selain mengutang pada Punggawa, termasuk bila ada kebutuhan mendesak dan tiba-tiba. Klimaksnya kemudian utang yang ada bukan lagi sekedar utang materi tetapi utang budi karena disaat tak ada lagi tempat berharap bantuan, sang Punggawalah yang membantu. Bayangkan saja jika seorang istri nelayan sedang dalam proses melahirkan dan saat itu si suami tak memiliki uang yang cukup. Seseorang yang membantu disaat sulit seperti itu akan dipandang sebagai penolong. Sistem tabungan sangat tidak familiar bagi nelayan terutama mereka yang berstatus sebagai sawi. Penyimpanan uang di bank hanya dilakukan oleh Punggawa.
Penguasaan kalangan pemodal (Punggawa) terhadap usaha perikanan berakar sangat kuat bagi masyarakat nelayan sawi di ketiga pulau tersebut. Sistem ‘Punggawa – sawi’ tersebut telah memerangkap masyarakat ke dalam sistem hutang beranak–pinak yang tidak kunjung putus dan turun–temurun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manajemen, Kontroler, dan Akuntansi Biaya

MANAJEMEN LOGISTIK DAN PENAWARAN BERANTAI, (EKONOMI MANAJERIAL)

10 mitos KEWIRAUSAHAAN